Wednesday, April 20, 2011

Kartini masa kini: ke dapur atau tidak?

Sebetulnya berawal dari survey iseng di twitter. Kebetulan atau enggak emang pas besok hari Kartini. Penuh deh sama bahasan-bahasan emansipasi dll. Nah surveynya sih simple banget, dimulai dari seorang cowo (anonim aja yaaa) yang sepertinya sih masih single. Dia lempar pertanyaan kurang lebih gini "Jaman sekarang cowok milih istri apa musti bisa masak?" Aku sih ga begitu ngikutin sebenernya, karna taunya pun dari respon seorang ibu muda yang buat aku sih agak sedikit mengagetkan. Dia cerita dulu waktu dikenalin ke keluarga (dulu) calon suaminya, ditodong masak. Trus si calon suami jawabin keluarganya, tarolah nama cewe ini si A, "Si A gak bisa masak, lagipula aku kalo mau istri bisa masak nikahin aja pembantu, gak nyari sarjana donk!" DENG... inilah yg menggelitik aku buat comment (dasar kurang kerjaan hehehe...).

Menurutku agak aneh aja sih di hari gini masih ada pikiran seperti itu. Kalo masak identik dengan pembantu dan sarjana dengan level atau status lebih tinggi notabene gak bisa masak. Yah aku pertanyakan ke ybs. Tapi no respons. Ada juga sih ibu2 lain yg comment "Aneh ya kalo dianggap yang bisa masak cuma orang kampung." Dan langsung ditanggapi kalau konteksnya beda. Replyku sendiri gak ditanggapi secara personal. Tapi setelah aku lihat lagi Timeline si A, woww dah penuh tanpa mention. Dia bilang sih gitu aja kok repot, kan suaminya yg nafkahin kenapa orang2 pada repot2 protes. Dan lagi dia bilang ngapain bisa masak kalo ga bisa jaga suami (another logika yang aneh menurutku sih, kenapa juga donk suami musti dijagain wkwkwkwk... dan kalo dibalik apakah istri yang bisa masak itu gak bisa jaga suami?) Ada lagi dia bilang kalau suaminya "lebih suka" dia temanin makan di luar di restaurant2 dan harus bisa dandan yang cantik (Again, apakah istri yang bisa masak ga bisa dandan cantik? ah udah identik dengan pembantu bener kali ya persepsinya ehmm musti liat mommy yg satu ini nihh, anak 4 no pembantu karna di luar negeri, jago masak, berkebun, cari duit sendiri, suami dan semua anak ke handle dengan baik dan dia cantikkkk banget + langsing!! so perfect? emang ada? ada  kok yang kayak gini!! buktiin gih klik linknya!).  Trus back to si A, dia juga bilang kalo di dalam kitab sucinya gak ada diharuskan seorang istri harus bisa masak, nyuci, ngepel. Dan suaminya juga gak butuh istri yang bisa bedain bumbu masak, yang penting bisa urus suami, anak, soal masak, nyuci ngepel itu tugas pembantu (kyknya 3 tugas itu udah melekat yah job desc 'hina'nya sang maid). Di twit yang lain juga si A bilang "Kalau suami 'ngelarang' aku masak yah aku nurut sama suami, lagipula makan di luar terus siapa yang mau makan?" Nah apa bener dilarang sih?? Kalo dirunut  awal cerita sih sebenernya dimaklumi gak bisa, bukan dilarang. Intinya si ibu A (menurut aku) sedang melakukan pembelaan diri. Suaminya pun pada saat bilang gitu bukan suatu kebanggaan tapi pembelaan terhadap istrinya yang gak bisa masak. Bukan hal yang memalukan sih gak bisa masak tapi juga bukan hal yang hina untuk bisa masak.

Anyway, hasil survey abal2 ini bilang kalo 60% cowo masih mengharapkan istri bisa masak sementara 40% lainnya bilang gak masalah. Tapi banyak juga jawaban 'licik' yang bilang Gak perlu bisa masak tapi kalo dapet yang bisa yah Alhamdulilah (seperti bonus). hehehehee... Aku juga yakin sih walaupun kualifikasi bisa memasak BUKAN suatu KEHARUSAN, tapi kalau akhirnya dapat yang bisa atau mau belajar masa iya sih si suami melarang atau merasa rugi? 

Enough ah ngomongin orang (ihh yg mulai siapa :p) kalo di RT aku sendiri, suami gak mewajibkan harus masak. Tapi emang akunya sometimes enjoy aja mencampur2 bereksperimen bikin masakan atau bikin kue. Gak bilang aku jago, tapi bisalah kalo sekedar tumis, atau yg udah ada bumbu jadi. Menurut kami, makanan rumah selain lebih hemat pastinya, lebih terjamin kebersihan dan kesehatannya. Buat anak udah pasti, kandungan gizinya lebih tercontrol kan kalo masak sendiri. Tapi juga karena ga ada tuntutan, aku gak terbeban untuk masak setiap hari (Mungkin nanti kalau kami jadi move back ke Australia, tapi rasanya bayanginnya pun aku enjoy aja kok), kalau lagi males yah beli atau catering. Kalo sekarang emang aku lagi seneng aja dan mau bereksperimen manggang2 dan bikin kue. It's Fun kok!

Menurutku lagi, jaman sekarang masak memasak bukan lagi hal yang nunjukkin kasta atau grade seseorang (back to cerita tadi deh pembantu vs sarjana). Malah lebih ke lifestyle... tau donk Farah Quinn, si koki cantik yang sering di TV. Mana ada pembonti2nya wkwkwkwk... Ditambah lagi design dapur jaman sekarang, semakin trendy dan friendly dan mendorong manusia2 modern untuk "back to kitchen" Aku malah kebayang tuh main masak2an (eh tapi hasilnya masakan beneran maksudnya) sama suami dan anak2 ntar kalo dah pada gede (Lah yg pertama aja masih 3 thn kalo aku bikin kue bilangnya aja "i want to help mommy" tapi itu butter buat oles masuk mulut semua and tepung dihambur2in sampe cookienya keras hehehehe...., sedangkan yang selanjutnya alias anak ke-2 dst masih di awang2 dehh :p) Kayaknya bakalan seru yahh... Jadi keinget, dulu kaget juga pas suami tiba2 masak rendang, kami masih di Sydney and aku lagi hamil besar. Ternyata bisa juga, padahal kayaknya cuma iseng dia, terus dimasak sendiri dan dimakan sendiri wkwkwkwk...

Tuesday, April 19, 2011

Ajakan Menghukum Arifinto atau cabut UU Pornografi

"Demi kesetaraan dan keadilan, Jurnal Perempuan mengajak teman-teman untuk bergabung menyatakan sikap bersama kasus Drs. H. Arifinto yang menonton video porno pada saat sidang parlemen. Kita tahu bahwa rakyat Indonesia menggaji anggota parlemen melalui pajak. Nyatakan dukungan anda, silakan email ke yjp@jurnalperempuan.com dan jundi@jurnalperempuan.com"


PERNYATAAN

JURNAL PEREMPUAN

Konferensi Pers, Kamis, 14 April 2011, YJP, Jakarta



Padahari ini, Jurnal Perempuan bersama sejumlah aktifis dan akademisi perempuan Indonesia, berkumpul untuk menyatakan bahwa kami menyambut baik pengunduran diri anggota DPR dari Fraksi Partai Kesejahteraan Rakyat (PKS), Drs. H. Arifinto. Langkah pengunduran diri ini adalah sewajarnya dan sepatutnya dilakukan oleh pejabat publik yang bertanggung jawab kepada publik karena dibiayai oleh pajak masyarakat Indonesia.

Namun, kasus ini menurut hemat kami belum selesai. Kami menuntut Drs. H. Arifinto untuk diperkarakan secara hukum karena telah melanggar Pasal 5 dan 6 dari UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI yang berbunyi:



Pasal 5: Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang secara eksplisit memuat:

a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

b. kekerasan seksual;

c. masturbasi atau onani;

d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

e. alat kelamin; atau

f. pornografi anak.



Pasal 6: Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.



Bila terbukti bersalah kami menuntut anggota PKS, Drs. H. Arifinto untuk dihukum sesuai Undang-Undang Pornografi yang menyebutkan, “setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).



Kami bersikeras bahwa penerapan hukum Undang-Undang Pornografi harus tidak pandang bulu. Terutama, karena pejabat publik tersebut dengan partainya yakni PKS telah mengusung dan meloloskan Undang-Undang Pornografi. Sebagaimana diketahui, Undang-Undang ini telah memakan banyak korban rakyat biasa dan seharusnya juga diberlakukan sama di depan hukum kepada siapapun termasuk kepada Drs. H. Arifinto.



Dalam kesempatan ini, kami ingin mengingatkan bahwa produk-produk hukum yang bias gender, anti pluralitas dan melanggar privasi orang dewasa menunjukkan sangat mudah dimanipulasi untuk kepentingan penguasa dan pihak-pihak tertentu.



Tuntutan kami bertujuan hendak memberikan contoh bahwa produk-produk hukum yang lemah secara substansi namun diloloskan harus berlaku pula kepada anggota DPR. Kami kecewa dengan pengesahan Undang-Undang Pornografi yang menurut hemat kami penuh dengan nuansa dan kepentingan kelompok agama tertentu. Oleh sebab itu, Partai berbasis agama seperti PKS harus bertanggung jawab memastikan hukum berlaku kepada mereka juga dan pejabat publik lainnya di tanah air.



Kami menghimbau agar polisi segera melakukan penangkapan dan bila tidak dilaksanakan maka kami akan melakukan penuntutan hukum secara resmi demi memenuhi rasa keadilan rakyat.



Demikian surat pernyataan kami, agar diperhatikan dengan seksama.



Jakarta, 14 April 2011




TERTANDA,


JURNAL PEREMPUAN.



Isi identitas anda pada form persetujuan ini dan kirim ke: yjp@jurnalperempuan.com


Nama: ____________

Lembaga: ______________

Alamat: ____________

Tanggal: _____________


PERHATIAN: Pernyataan akan kami sebarluaskan, dengan begitu nama dan lembaga anda yang menyetujui untuk bergabung dalam pernyataan sikap ini akan dipublikasikan.


Untuk kontak:
Kantor Yayasan Jurnal Perempuan
Telp: 8370 2005
Email: yjp@jurnalperempuan.com
www.jurnalperempuan.com

Friday, April 15, 2011

Arifinto dan Kegagalan Undang-Undang Pornografi

Kamis (14/4), Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) bersama sejumlah aktivis dan akademisi perempuan Indonesia mengadakan jumpa pers di Kantor YJP, Jakarta. Jumpa pers ini untuk menyatakan bahwa penyikapan kasus anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Drs. H. Arifinto, yang membuka konten porno di ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belumlah cukup.

Selaku juru bicara YJP, Mariana Amiruddin menyatakan bahwa langkah pengunduran diri Arifinto sudah sepatutnya. “Pejabat publik bertanggung jawab kepada publik, dan mereka dibiayai oleh pajak masyarakat Indonesia. Namun, kasus ini belum selesai,” jelas direktur YJP ini.

Meski perangkat yuridis tersedia, hingga kini tidak ada usaha dari pihak aparat untuk menindak Arifinto secara hukum. Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah diberlakukan kepada orang lain. Jika Arifinto tidak ditindak berdasarkan UU Pornografi (UUP), maka undang-undang (UU) ini diterapkan secara diskriminatif. “Sebelum disahkannya UUP, kami sudah mengira bahwa aturan ini diskirminatif,” jelas Mariana.

Aktifis perempuan, Ayu Utami menjelaskan bahwa UUP telah menghukum Ariel Peterpan secara hukum negara dan norma sosial. “Kami terganggu karena hukum berlaku diskriminatif, tidak merata,” ujar novelis ini. Ariel melakukan hal privasi di ruang privat. Sedangkan Arifinto, melihat pornografi di ruang publik, bernama ruang rapat DPR, tempat pengesahan pelarangan pornografi.

Peneliti isu perempuan, Myra Diarsi berpendapat, partai merupakan lembaga perebut kekuasaan. PKS merebut kuasa, salah satunya, lewat isu pornografi. Partai berasas Islam ini memakai hawa moral untuk memerintah. Tapi konyolnya, alat rebut kekuasaan ini tidak pernah mengilhami mereka. Menentang pornografi, tapi anggotanya menonton pornografi di ruang sidang. Ini gambaran kebangkrutan politisi. Pengunduran diri saja, bukanlah penyelesaian. “Apabila kemunduran ini diterima dengan senang hati, akan menjadi bentuk kemunafikan. Apa yang terobati dari pengunduruan diri?” ujar Myra.

Demi keadilan bagi semua orang, Arifinto harus diperkarakan secara hukum. Ia telah melanggar Pasal 5 UUP, berbunyi: Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak. Dan Pasal 6 UUP, berbunyi: Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. Bila terbukti bersalah, Arifinto harus dihukum pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Selain prinsip keadilan, hal lainnya dikarenakan Arifinto sebagai bagian dari PKS telah mengusung dan meloloskan UUP. Harus diingatkan bahwa produk-produk hukum yang bias gender, anti pluralitas dan melanggar privasi orang dewasa, sangat mudah dimanipulasi untuk kepentingan penguasa dan pihak-pihak tertentu. []
Oleh: Usep HS