Thursday, May 12, 2011

sahm vs wm is not really a competition

Jangan pusing dengan singkatan di judul postingan ini :) sahm itu kepanjangannya stay at home mom, kalau wm yah working mom. Kalau dulu istilah sahm disebut ftm --> full time mom. Tapi banyak yg protes (mungkin dari working mom) karna kan biar gimanapun gak ada istilah part time mom.

Bosen juga sih sebenernya ngebahas tentang topik ini karna di blog ibu2 lain pasti udah banyak bertebaran bahasan yang sama beserta pro dan kontranya. Cuma aku mau curhat sedikit aja (gak banyak2 kok) tentang beberapa komentar ke diriku yang seorang sahm.

Sekedar refresh, alasan kenapa aku memutuskan resign dan bekerja di rumah udah pernah aku post disini Kalo di postingan tsb aku cerita tentang komentar2 negatif orang tentang seorang ibu rumah tangga, yang belakangan masuk ke aku (entah sebagai basa basi atau kesantunan cari topik pembicaraan) sebaliknya. Biasanya sih di kumpulan ibu2, salah seorang ibu bekerja awalnya tanya2 perkembangan anak "Belle udah bisa apa?" Terus ada juga yang menanggapi "Enak yah bisa di rumah, jadi tau persis perkembangan anak, gak pernah ketinggalan." Ada juga yang katanya sih... iri dan pengen bisa "santai2" sepanjang hari di rumah seperti diriku. Apa tanggapanku ngadepin itu semua? Yah paling cuma bisa senyum :) Masak iya sih mo beberin jadwal kegiatanku dari mulai buka mata, siapin keperluan anak + suami, masak, pikirin aktivitas yang berguna buat anak, belajar sambil main2, cari metode dan nerapin untuk mengkoreksi bad attitude anak, etc etc sampai tidur lagi. Tentunya diusahain ada 'me time' kebanyakan baca buku atau internet (ngeblog, belajar IM, search info berguna), kebetulan aku gak terlalu suka nonton TV sih, jd ga masuk kegiatan yang menurutku cukup berguna. Lebih baik main sama anak daripada nonton TV buat aku.

Anyway, back to topik semula. Yang bikin aku shock adalah kejadian sore ini sih. Karna mumpung lagi di Jakarta jadi aku ketemuan dengan teman2 lama. Temen SMAlah, temen dulu bareng kerjalah, temen SD, dan temen kuliah. Tadi kebetulan sama temen kuliah dulu sama2 di Aussie. Kasus kami sama sih, setelah anak lahir atau pas hamil, resign dari kerjaan. Bedanya anakku masih satu, dia baru aja lahir anak ke-2. Tiba2 lagi ngobrol2 (tadinya bertiga, tapi temen satunya yg sahm juga udah pulang duluan), dia nanya "Terus loe ngapain aja di rumah kalo di Batam?" Padahal baru sejam sebelumnya kita ngebahas loh, ada temen lain (tarolah namanya si X) yg working mom dan setiap tau dari antara kami resign pasti sibuk nanya2 "emang loe bener resign? ga bosen di rumah? si rumah ngapain aja?" Dan kita ngerasa agak ganggu pertanyaannya, karna emang terlalu mojokin sih lama2. Nah, langsung aja aku balikkin "Ihhh elo pertanyaannya kok sama aja kayak si X?" Terus dengan menghela nafas (halah lebay wkwkwkwk) Aku bilang "Say, elo anak dua dan punya baby sitters dua, gw itu ngurus anak sendiri. Emang ada maid sih, tapi yang masak juga tetep gw. Jadi, kalo elo ngapain aja di rumah?" Terus dia cengengesan, malah sempet2 nyeletuk "Oh, kirain masih suka chating kayak dulu" Ya ampun... hari gini sih internetan udah bisa cari duit kali say... ga cuma chatting (emang temenku satu ini agak gatek :p). Yah gimana gak shock ya, kalo yang nanya working mom yang serba bisa (kerjaan kantor beres, anak bisa tetep full ASI, home made food, pinter, santun, suami keurus) mau comment atau kritik ke aku sih hayooo dehh diterima, secara aku gak (blom) sanggup sih bayangin kalo musti kerja kantoran 9-5 (iya kalo 9-5 dan mon to fri, yang udah2 sih 8-8 mon to sat), pulang ke rumah dengan sisa2 tenaga udah harus siap lagi dengan peran sebagai ibu seutuhnya. Well, mungkin orang lain ada yang bisa. Tapi aku ngukur kemampuan diri dan standard yang aku harapkan di perkembangan anakku di segala aspek (dan aku punya keyakinan sih, semua itu ga bisa diserahin ke sekolah atau pengasuh) rasanya aku belum punya kemampuan manage waktu sehebat itu. So, aku hanya bisa bilang salut buat working mom yang bisa handle dua perannya di kantor dan di rumah dengan baik.



Tuesday, May 3, 2011

Anak-Anak Karbitan

Anak-anak yang digegas
Menjadi cepat mekar
Cepat matang
Cepat layu...

Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana mana orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga persekolahan yang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anakmereka pelayanan pendidikan yang baik. Taman kanak-kanak pun berdiridengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa. Kursus-kursus kilat untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang puluhan ribu hingga jutaan rupiah per bulannya. Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan sehat melalui kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan. Penuh tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi kantung orangtua ...

Captive market I
Kondisi diatas terlihat biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi di intenet dan lileratur yang ada tentang bagaimana pendidikan yang patut bagi anak usia dini, maka kita akan terkejut! Saat ini hampir sebagian besar penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini melakukan kesalahan.
Di samping ketidak patutan yang dilakukan oleh orang tua akibat ketidaktahuannya!

Anak-Anak Yang Digegas...
Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap anak. Di antaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuan intelektual secara dini. Akibatnya bermunculanlah anak-anak ajaib dengan kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untuk menjalani akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan kecakapan-kecakapan akademik dl dalam dan di luar sekolah.

Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan ini terjadi pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra seorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian ? James Thurber seorang wartawan terkemuka. pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada beberapa waktu silam.

Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi pada seorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952, dimana seorang Ibu yang bemama Aaron Stern telah berhasil melakukan eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan kognitif anaknya sejak si anak masih benapa janin. Baru saja bayi itulahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang bayi. Kemudian diajak berbicara dengan menggunakan bahasa orang dewasa. Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata baru. Hasilnya sungguh mencengangkan! Di usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun Edith telah menyelesaikan membaca ensiklopedi Britannica. Usia 6 tahun ia membaca enam buah buku dan Koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun dia masuk universitas. Ketika usianya menginjak 15 lahun la menjadi guru matematika di Michigan State University. Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga. Namun khabar Edith selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa. Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa.

Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang terkenal yang berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat mereka kecil mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai murid yang dungu. Seperti halnya Einsten yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun. Selama berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak di masa depan sangat ditentukan oleh faktor kogtutif. Otak memang memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itubanyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan "Early Childhood Training".


Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasannya. Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90 % bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak kiri. Sementara fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10% saja.
Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam proses pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang dimana-mana, di Indonesia....

"Early Ripe, early Rot...!"
Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 1960 di Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan pentingnya pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini. Orangtua merasa apabila mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, membaca dan menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan "peluang emas" bagi anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak mereka sesegera mungkin ke Taman Kanak¬Kanak (Pra Sekolah). Taman Kanak-kanak pun dengan senang hati menerima anak-anak yang masih berusia di bawah usia 4 tahun. Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan membaca dan berhitung secara formal sebagai pemula.

Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amerika sudah dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Mulailah "Era Headstart" merancah dunia pendidikan. Para akademisi begitu optimis untuk membelajarkan wins dan matematika kepada anak sebanyak dan sebisa mereka (tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak tentang anak, apa yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak. Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan Jerome Bruner, seorang psikolog dari Harvard University yang menulis sebuah buku terkenal " The Process of Education" pada lahun 1960, la menyatakan bahwa kompetensi anak untuk belajar sangat tidak berhingga. Inilah buku suci pendidikan yang mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika. "We begin with the hypothesis that any subject can be taught effectively in some intellectually honest way to any child at any stage of development". Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang di salahartikan oleh banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana! Pendidikan dilaksanakan dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang dan cepat busuk... early ripe, early rot!